Buku 'Gadis Pantai' ini termasuk buku Pram yang tipis dibanding bukunya yang lain yang pernah saya baca , biarpun tipis ceritanya tetap menarik dan penuh dengan kata-kata yang 'berisi’ dan menggali rasa kemanusiaan pembacanya.
Gadis Pantai sebetulnya merupakan cerita roman yang belum selsai karena konon ini sejatinya sebuah trilogi, tapi cerita selanjutnya lenyap ketika prahara politik terjadi di Indonesia. Walaupun begitu membaca Gadis Pantai tidak membuat pembacanya kehilangan inti ceritanya yang menarik.
Pramoedya A.T. |
Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi…
Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung yang
Berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai berusia 14 tahun , hidup di kampung nelayan Kabupaten
Rembang, Jawa tengah. Tanpa persetujuan dirinya , dia ‘dambil’ menjadi
gundik seorang pembesar santri keturunan priyayi. Ternyata pada
masa itu apabila seorang pembesar/priyayi belum menikah dengan wanita
yang sederajat martabatnya boleh ‘mengambil’ gundik yang berasal dari
wanita kebanyakan. Bagi orang kebanyakan, bila pembesar berkenan
mengambil anaknya sebagai gundik akan memberikan prestise di kampungnya
karena telah dinaikkan derajatnya. Tugas sang gundik adalah melayani
kebutuhan seks Bendoro (panggilan untuk priyayi tsb) . Sampai kapan
wanita tsb bisa menjadi ‘istri’ sang Bendoro ? sampai Bendoro
memutuskan menikah dengan wanita sederajat atau..terserah semaunya
‘beliau’ mau tetap atau mau ganti gundik...dan selama belum menikah
dengan yang sederajat maka Bendoro ini disebut belum menikah walaupun
sudah mempunyai banyak anak dari para gundiknya.
Biarpun di lingkungan pembesar itu hidup serba berkecukupan tapi bagi Gadis Pantai hdupnya menjadi seperti di neraka, berbeda dari di kampung asalnya yang serba bebas tak ada perbedaan sesama warganya sedangkan di sini gedung besar tapi sunyi tak boleh berbicara sembarangan dan bertindak sembrono semua kewenangan ad adi tangan Bendoro seolah yang lain tak mempunyai hak sama sekali.
Biarpun di lingkungan pembesar itu hidup serba berkecukupan tapi bagi Gadis Pantai hdupnya menjadi seperti di neraka, berbeda dari di kampung asalnya yang serba bebas tak ada perbedaan sesama warganya sedangkan di sini gedung besar tapi sunyi tak boleh berbicara sembarangan dan bertindak sembrono semua kewenangan ad adi tangan Bendoro seolah yang lain tak mempunyai hak sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar